Para ulama tasawuf berpandangan bahwa, untuk peningkatan jiwa manusia dari tingkat rendah ke tingkat tinggi dan sempurna harus melalui 7 martabat nafsu, yaitu:
1. Nafsu Ammarah
2. Nafsu Lauwwamah
3. Nafsu Mulhamah
4. Nafsu Muthmainnah
5. Nafsu Radliyah
6. Nafsu Mardliyah
7. Nafsu Kamilah
Berikut analisa untuk masing-masing martabat nafsu tersebut:
1. Nafsu Ammarah
Perangai orang pada martabat nafsu ini selalu memperturutkan kehendak hawa nafsu dan bisikan syetan. Karena itu nafsu ammarah ini kerjanya senantiasa menyuruh berbuat maksiat, baik ia tahu perbuatan itu jahat atau tidak. Bagi dia baik dan buruk adalah sama saja. Kejahatan dipandangnya tidak menjadikan apa-apa bila dikerjakan. Dia tidak mencela kejahatan, bahkan sebaliknya selalu sinis dan suka mencela segala bentuk kebaikan yang diperbuat orang lain. Nafsu ammarah ini adalah derajat yang paling rendah sekali, dan sangat berbahaya serta merugikan diri pribadi yang sekaligus akan menyeretnya ke lembah kehinaan.
Sebagian dari sifat-sifat orang pada martabat nafsu ammarah ini ialah:
- Bakhil atau kikir
- Tamak dan loba kepada harta benda
- Berlagak sombong dan takabbur (membanggakan diri)
- Suka bermegah-megahanan dan bermewah-mewahan
- Ingin namanya terkenal dan populer
- Hasad dan dengki
- Berniat jahat dan khianat
- Lupa kepada Allah SWT
- Dan lain-lain sifat tercela.
Orang pada martabat nafsu ammarah ini hendaknya selalu berdzikir “naif dan itsbat” dan banyak ingat kepada Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring, disamping zikrul maut (ingat pada mati).
2. Nafsu Lauwamah
Orang pada martabat nafsu ini suka mengritik atau mencela kejahatan dan membencinya. Apabila ia terlanjur berbuat kejahatan, ia lekas menyadari dan menyesali dirinya. Memang dia menyukai perbuatan baik, tapi kebaikan ini tidak dapat dipertahankan secara terus menerus karena dalam hatinya masih bersarang maksiat-maksiat batin. Meskipun hal ini diketahuinya tercela dan tidak disukainya, namun selalu saja maksiat batin itu menyerangnya. Sehingga apabila kuat serangan maksiat batin itu, maka sekali-kali dia berbuat maksiat dzohir karena tidak mampu melawannya. Meskipun demikian dia tetap berusaha menuju keridhoan Allah sambil mengucap istighfar memohon ampun dan menyesal atas kemaksiatan yang diperbuatnya.
Diantara sifat-sifat tercela dari nafsu lauwamah ini adalah:
- Menyadari kesalahan diri atau menyesal berbuat kejahatan
- Timbul perasaan takut kalau bersalah
- Kritis terhadap apa saja yang dinamakan kejahatan
- Heran kepada diri sendiri, mengira dirinya lebih baik dari orang lain (ujub)
- Memperbuat suatu kebaikan agar dilihat dan dikagumi orang (riya’)
- Menceritakan kebaikan yang telah diperbuatnya supaya mendapat pujian orang (sum’ah)
- Dan lain-lain sifat tercela didalam hati.
Orang yang berada pada martabat nafsu lauwamah ini hendaklah memperbanyak dzikir qolbu atau hatim. Dzikir lisan atau lidah sudah berpindah masuk kedalam hati sehingga hati hidup bergerak dengan zikir tanpa menggunakan lidah lagi.
3. Nafsu Mulhamah
Martabat nafsu mulhamah ini adalah nafsu yang sudah menerima latihan beberapa proses pensucian dari sifat-sifat hati yang kotor dan tercela melalui cara kehidupan orang-orang tasawwuf (sufi).
Orang pada martabat nafsu mulhamah ini boleh dikatakan baru mulai masuk tingkat kesucian, baru mulai mencapai fana, tetapi belum teguh dan mantap karena ada kemungkinan sifat-sifat terpuji itu akan lenyap dari dirinya.
Sifat-sifat yang timbul dari nafsu mulhamah ini antara lain:
- Tidak menyayangi harta benda (pemurah)
- Merasa cukup dengan apa yang ada (qona’ah)
- Mempunyai ilmu laduni, yaitu ilmu yang didapat dari ilham
- Timbul perasaan merendahkan diri kepada Allah (Tadlarru’)
- Taubat, memohon ampun kepada Allah dari dosa yang telah dikerjakan
- Sabar dalam segala hal yang menimpa
- Tenang menghadapi segala kesulitan
Orang yang telah mencapai martabat nafsu mulhamah ini hendaklah memperbanyak dzikir sir atau dzikir rahasia. Ketika berdzikir hendaklah menghadirkan “Wujud Allah” yang mutlak, karena tiada wujud yang mutlak melainkan Allah.
4. Nafsu Muthmainnah
Apabila orang pada martabat nafsu mulhamah tetap dalam proses mencapai maqam haqikat dan ma’rifat, maka akan melekatlah di lubuk hatinya sifat-sifat terpuji itu, dan terkikis habislah sifat-sifat yang tercela. Maka pada waktu itulah dia masuk ke dalam martabat nafsu muthmainnah. Nafsu ini adalah sebagai permulaan mencapat derajat shufi atau wali.
Orang yang telah mencapai martabat nafsu ini senantiasa merasa hatinya seolah-olah berada bersama Allah (Ma’allah).
Diantara sifat-sifat keruhanian yang timbul dari nafsu muthmainnah adalah:
- Pemurah dan suka bersedekah
- Menyerahkan diri kepada Allah (Tawakkal)
- Bersifat arif dan bijaksana
- Kuat beramal dan kekal mengerjakan sholat
- Mensyukuri ni’mat yang diperoleh dengan membesarkan Allah
- Menerima dengan rasa puas apa yang dianugerahkan Allah (ridho) menerima qodho dan qodar
- Takwa kepada Allah (Taqwallah)
- Dan lain-lain sifat yang mulia.
Inilah nafsu muthmainnah, nafsu yang tenang, yang diseru Allah masuk ke dalam Surga-Nya.
Orang yang telah berada pada martabat nafsu ini dzikirnya tetap hidup dalam rahasia (sir) yaitu batin bagi ruh.
5. Nafsu Radhiyah
Martabat Nafsu radhiyah ini derajatnya lebih tinggi dari martabat nafsu muthmainnah. Nafsu radhiyah ini sangat dekat dengan Allah dan menerima dengan perasaan ridho segala hukum Allah. Karena itu segala problema kehidupan duniawi sama saja bagi para wali martabat nafsu rahiyah ini. Nilai uang sama saja dengan kertas biasa. Mereka tidak takut atau khawatir kepada siapapun yang akan mengganggu, dan tidak pula bersedih hati atas segala penderitaan sebagaimana kesedihannya yang diderita orang-orang awam.
Sifat-sifat keruhanian yang timbul dari nafsu radhiyah ini antara lain adalah:
- Zuhud dari dunia
- Ikhlas kepada Allah
- Wara’ dalam ibadat
- Meninggalkan segala sesuatu yang bukan pekerjaannya
- Menunaikan dan menetapkan hukum-hukum Allah
- Dan lain-lain perangai mulia dan terpuji
Hati orang yang telah mencapai martabat nafsu radhiyah ini senantiasa merasa seolah-olah ia berada dalam Allah (Fillah).
Dzikir orang martabat ini tetap hidup dalam persembunyian rahasia (sirrus sirr).
6. Nafsu Mardliyah
Martabat nafsu mardliyah ini lebih tinggi dari martabat nafsu radliyah, karena segala perilaku orang nafsu ini, baik perkataan maupun perbuatan adalah diridhoi Allah dan diakui-Nya. Oleh karena itu, jadilah jiwanya, perasaannya, lintasan hatinya, gerak-geriknya, pendengarannya, penglihatannya, perkataannya, gerak kaki dan tangannya, kesemuanya itu adalah diridhoi Allah belaka.
Diantara sifat-sifat akhlak mulia dan terpuji yang timbul dari martabat nafsu ini adalah sebagai berikut:
- Baik budi pekertinya seperti akhlak Nabi-nabi
- Ramah tamah dalam pergaulan dengan masyarakat sebagaimana perangai para Nabi
- Senantiasa merasa berdampingan dengan Allah
- Selalu berfikir pada kebesaran Allah
- Ridho dengan apa saja pemebrian Allah
- Dan lain-lain budi pekerti yang luhur dan terpuji
Dalam perjalanannya, hati orang martabat nafsu mardliyah ini seolah-olah merasa dalam keadaan dengan Allah semata-mata (Billah). Dan terus menerus mengambil ilmu daripada Allah. Setelah melalui martabat fana’, dia akan kembali ke maqam baqa. Dengan kata lain setelah ia sampai kepada Allah, maka kembali lagi kepada makhluk. Dan ketika itu dapatlah ia menceburkan diri dalam kehidupan masyarakat, memberi petunjuk dan menuntun ummat ke jalan syari’at agama Allah yang benar.
Dzikir orang martabat nafsu ini tetap hidup dalam persamadhian rahasia (khafi) yaitu batin bagi “sirrus sirri”.
7. Nafsu Kamilah
Martabat nafsu kamilah ini adalah nafsu yang tertinggi dan teristimewa dari maqam wali yang lain, karena ia dapat menghimpun antara bathin dan lahir antara hakikat dan syari’at. Karenanya dia dinamakan maqam “Baqa Billah” atau “Kamil Mukammil” atau “Insanul Kamil”. Jelasnya ruh dan hatinya “Kekal dengan Allah”, tetapi zhahir tubuh kasarnya bersama-sama dengan pergaulan masyarakat, menjadi pemimpin membina masyarakat ke arah jalan yang dirihoi Allah. Hati mereka kekal dengan Allah meskipun diwaktu tidur, karena mereka dapat musyahadah dengan Allah dalam setiap waktu. Maqam “Baqa Billah” ini tidak dapat dinilai dengan kebendaan berbentuk apa saja di alam ini, karena itu ia merupakan maqam khawasul khawas. Segala gerak gerik dan perilaku orang martabat nafsu kamilah ini adalah ibadat semata-mata.